Now Reading:

Tatap Muka Lewat Rasa, Pengalaman Bersantap Akrab di TAMU


Siang itu, Jakarta sedang berada di ritme tergesa: macet, deru kota, dan aroma hujan yang tertahan. Namun, begitu melangkah masuk ke TAMU, restoran Indonesia terbaru di kawasan Adityawarman, semuanya terasa berbeda. Ruangannya hangat, bersih, dan akrab, seolah mengajak siapa pun untuk duduk, membuka obrolan, dan membiarkan cerita mengalir dalam waktu yang melambat. Baru beberapa detik di dalam, saya langsung menangkap satu hal: TAMU bukan sekadar rumah makan. Ia adalah sebuah ruang untuk bertemu, ruang yang ingin membuat orang kembali ber-tatap muka.

Di tengah interior modern dengan garis-garis sleek, berdiri Saka Guru yang sudah berusia lebih dari 50 tahun, yaitu sebuah struktur kayu tua yang dihidupkan kembali sebagai penjaga nostalgia. Elemen arsitektur warisan ini dipadukan dengan pencahayaan dinamis dan dekorasi kayu daur ulang, menciptakan suasana yang terasa seperti rumah yang ditata ulang, tetap akrab, namun kini lebih relevan bagi generasi hari ini.

Filosofi “Nostalgia Tapi Dinamis” tak sebatas tagline, rupanya; tapi hadir mulai dari interior hingga piring pertama yang tiba di meja.

 

Joglo Saka Guru (Foto: Dok. TAMU)

Penghormatan Pada Kuliner Lokal

Saya mencoba Lawar Udang, salah satu menu yang jadi pembicaraan. Teksturnya renyah dengan rasa yang segar, lawar ini juga dilengkapi ebi dan udang segar yang ditambahkan Chef Arief Rachman untuk memperkaya lapisan rasa dan pengalaman bersantap. Lalu hadir Konro Pipi Sapi yang sepertinya menjadi primadona saat santap bersantap siang itu. Ini sajian yang betul-betul menonjolkan jati diri TAMU: akar kuliner Makassar yang kuat, namun dieksekusi dengan teknik sous vide (teknik masak ala Prancis) hingga pipi sapi mencapai kelembutan yang di luar ekspektasi. 

Tak kalah istimewa, Gurame Goreng Sambal Mangga memberikan pengalaman menikmati masakan Sunda dengan lebih dinamis. 900 gram ikan gurame yang digoreng renyah, ditaburi dengan sambal mangga yang diakhiri dengan remah kacang mede yang sepertinya tak hanya memperkaya rasa, tapi juga  tekstur yang beragam.

Gurame Goreng Sambal Mangga (Foto: Dok. TAMU)

Sebagai tambahan, Nasi Bunga Kecombrang bisa jadi rekomendasi buat yang ingin bersantap ramai-ramai dengan konsep makan tengah.

Di akhir sajian, seporsi Bugis Mandi menutup kisah siang itu. Kue manis gurih yang diboyong dari tradisi Sulawesi Selatan ini tersaji cantik dengan seporsi nasi ketan dan es krim kelapa yang gurih dan tak terlalu manis. 

Foto: Yudasmoro & Dok. TAMU)

Menariknya, TAMU bukan hanya memaknai makanan sebagai produk, tapi sebagai medium pertemuan. Dengan dua private room berkapasitas 6 dan 10 orang, serta keseluruhan restoran yang dapat dipakai untuk acara hingga 250 tamu, tempat ini terasa siap menjadi panggung untuk perayaan kecil hingga momen hidup yang lebih besar. Filosofi mereka jelas: kebersamaan adalah inti dari gastronomi Indonesia.

Dalam percakapan singkat dengan tim TAMU, saya menangkap ambisi yang berbeda dari banyak restoran Indonesia modern lainnya. Mereka tidak ingin hanya menyajikan nostalgia dalam format estetik yang manis; mereka ingin membangunnya ulang, menggerakkannya, menjadikannya relevan. Ke depan, TAMU bahkan telah menyiapkan konsep menu musiman dan kolaborasi dengan UMKM serta pegiat budaya, sebuah langkah yang benar-benar mencerminkan identitas “dinamis”.

Ketika malam berakhir dan saya melangkah keluar ke jalan yang kembali riuh, ada satu hal yang tertinggal dari pengalaman bersantap di taman kecil bernama TAMU: rasa hangat yang lahir dari pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Sebuah ruang yang mengingatkan kita bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tetapi tentang duduk bersama, membuka cerita, dan membiarkan nostalgia bergerak maju—secara perlahan, namun pasti.

POPULAR

Share This Articles
Klook.com